Selasa, 06 Juli 2010

Fadli

Muhammad Fadli Rizal, anak pertama kami, lahir di Yogyakarta, 29 sept 2004. Kami memanggilnya Fadli, Lahir normal dari seorang rahim ibu, istri tercinta saya Noviana Sari Widiastuti, dengan berat 2500 gr. Menurut dokter anak kami sehat-sehat saja, beratnya pun tergolong normal, itu batas minimal berat bayi yang baru lahir. Karena dengan berat dibawah 2500 gr, perlu perawatan lanjutan beberapa hari.

Mengapa hanya 2500 gr? Setahu saya anak normal yang baru lahir beratnya biasanya lebih dari itu, tapi fadli tidak, waktu lahir umur kandungan tepat memasuki 9 bulan, belum genap 9 bulan 10 hari, ke-umuman usia kandungan. Maka dari itu beratnya masih sedikit dibatas ambang normal, mungkin kurang 10 hari itu yang menyebabkan cuma punya berat minim, Ini hanya asumsi saya mengapa beratnya cuma segitu, 10 hari cukup lumayan bagi jabang bayi nambah berat badan. Apalagi istri saya juga tidak terlalu sulit untuk makan ketika hamil. Fadli lahir tepat setelah mamahnya baru saja ikut senam hamil beberapa jam sebelumnya, karena istri saya pikir cukuplah dua minggu untuk melakukan persiapan kehamilan, maklum kelahiran pertama bisa sangat menegangkan buat istri.

Perkembangan dari bulan ke bulan normal-normal saja, dari tengkurap, merangkak, berdiri dan berjalan. Yang sedikit berbeda, dari merangkak ke berdiri dan berjalan relative jaraknya singkat ketimbang fase dari tengkurap. Tapi saya anggap normal-normal saja.
Di usianya yang belum genap 9 bulan, ternyata istri saya hamil lagi. Program KB kalender kami tidak berjalan mulus, hamil anak ke-2 di luar perkiraan kami, apa pun hasilnya kami sangat bersyukur, mengingat sebelum Fadli lahir, sebetulnya istri pernah hamil tapi belum genap 3 bulan harus keguguran. Kehamilan yang diluar rencana ini pun sangat mengagetkan, dan sempat ada wacana keluarga untuk tidak melanjutkan kehamilan, mengingat Fadli masih kecil. Sekali lagi Tuhan masih memberi petunjuk, dengan segala resiko kehamilan diteruskan.

Asupan asi terpaksa dihentikan demi kesehatan ibu dan adiknya. Saya masih ingat betul, terpaksa Fadli di sapih untuk tidak lagi menyusui ibunya dengan metode air putih yang sudah di do'akan oleh seorang Kyai di Haurgeulis – Indramayu, pak Haji Ismail,namanya. Alhamdulillah semua berjalan lancar, Fadli bisa melupakan untuk tidak menyusui lagi diusianya yang baru 9 bulan.
Kasihan sebetulnya, karena belum genap 2 tahun dia menikmati susu ibunya. Padahal susu ibu adalah makanan terbaik buat dia, namun ini pun terpaksa harus dilakukan.

Masa-masa itulah perjalanan berat sudah kami mulai, dengan kondisi Fadli yang baru berumur 9 bulan, istri saya sudah harus berjuang mempertahankan kehamilan anak kedua kami. Bisa dibayangkan dengan Fadli yang masih kecil, perut gendut mamahnya dan aktifitas rumah, sedikit banyak menguras tenaga dan pikiran istri. Terpaksa Fadli dan mamahnya kami ungsikan ke rumah ortu saya di kampung. Alhamdulillah dengan dukungan keluarga ‘beban’ aktifitas fisik istri merawat fadli bisa diatasi, keluarga jadi babysitter terbaik kami saat itu.

Memasuki usia 18 bulan, Fadli hijrah lagi ke Yogya ke rumah eyangnya, dan anak kedua kamipun lahir, ternyata laki-laki lagi. Bahagia tidak terkira kami rasakan, mendapatkan anak ke dua, teman bermain Fadli, Fachri namanya.

Waktu itu Fadli sudah pandai menirukan suku kata terkahir, “Plastik, (Fadli sudah mampu bilang : “tik..), "Udah..: 'dah, dan beberapa kosakata lain. Terlihat normal dan tidak ada masalah, ketika tiba-tiba suatu hari Fadli sakit, sering muntah dan badan panas. Perawatan pun dia jalani sampai 2 malam di RS tempat dia lahir. Di rumah sakit Fadli terus menerus menangis, kebetulan waktu diinfus mengalami kesulitan, di tangan kiri maupun tangan kanan, sampai akhirnya selang infus harus masuk lewat kakinya, itu pun setelah di bantu oleh 5 orang untuk memegangi tubuh fadli yang terus memberontak ketakutan. Kondisi selang infus inilah yang menyebabkan Fadli tidak nyaman dan tidak bisa bergerak leluasa. Menangis dan menangis jadi ekspresi dia selama di Rumah sakit.

Hari-hari berjalan, sampai akhirnya fadli hijrah di rumah dia sebenarnya di Karawang, tempat saya mencari rezeki. Di masa sibuk mamahnya mengurus si kecil anak kedua kami, Fadli mulai keseringan nonton TV, tidak ada teman yg diajak bermain, ada juga tidak sebaya, hobinya menyendiri dan menonton TV. Hobi memencet tombol TV sempat merusak hampir semua tombol yang ada di TV. Waktu itu kami sangat kewalahan mengurus 2 anak yang masih kecil, apalagi kalo pas saya kerja. Fadli cenderung bermain sendiri, dan kami pun agak protektif dengan lingkungan yang baru di perumahan.

Umur 18 bulan keatas, kemampuan verbal dia semakin hari menghilang, tidak ada satu patah kata pun dia ucapkan. Untuk meminta sesuatu dia hanya menarik-narik tangan ayah dan mamahnya. Kadang-kadang sering menyendiri. Mainan pun belum ada yang spesifik dia gandrungi. Kadang-kadang 'babbling' sesekali, ngoceh dengan maksud yang tidak kami mengerti, tapi saya berpikir itu masih wajar mungkin hanya terlambat bicara saja. Menjelang tahun ke-3, salah seorang keluarga kami sempat berujar, mungkin autis.…

Autis..??? Saya masih g yakin (kebetulan saya sempat mendengar istilah ini sebelumnya), tapi saya masih tidak percaya, apalagi saya juga sempat browsing di internet dan coba-coba mencari tahu, tapi dugaan saya masih tidak mengarah ke autis, di tambah lagi suatu hari saya sempat melihat Film berjudul “Mercury Rising” film action , dibintangi aktor Bruce Willis, mengkisahkan anak autis yang berhasil menjawab teka-teki Puzzle berisikan kode rahasia negara.
Saya selalu membanding-bandingkan dengan Fadli dan si anak di film itu, lagi-lagi kesimpulan saya, anak saya tidak autis, anak saya berbeda dengan yang di film. Kontak mata masih ada walau sedikit, di panggil juga masih “mendengar” walau harus melawan suara TV. Saya masih penasaran…

Karena penasaran, sewaktu liburan di Yogya, Fadli yang kala itu berumur 2 tahun, kami bawa ke klinik tumbuh kembang anak di sebuah RS. negeri di yogyakarta, hasil kesimpulan: Anak masih dalam batas normal, bahkan tes BERRA juga normal, walaupun ada sedikit perbedaan respon di telinga kiri Fadli.

Berbekal ini saya jadi semakin yakin anak saya tidak autis, cuma terlambat bicara saja....

Di masa-masa umur fadli 3 tahun lebih, mulailah kekhawatiran merebak,… Fadli belum juga bisa bicara, apalagi cenderung sangat aktif, kalo makan di-‘emut., gak mau mengunyah, acara makan jadi problem buat kami dan Fadli. Nafsu makan seperti tidak ada, karena hobby ngemut itulah yang membuat acara makan bisa lebih dari 1 jam.
Saya dan istri sudah mulai sering beda pendapat tentang Fadli, karena saya masih berpendapat ini hanya telat saja nanti juga bisa ngomong sendiri, tapi istri berpendapat lain, so.. konflik pun jadi menu yang tidak bisa dihindarkan antara kami berdua.
Saya masih berpendirian anak saya tidak ada masalah, nanti juga pada waktunya akan bisa…, begitu terus dan begitu terus pendapat saya..

Pada akhirnya mulailah rencana ‘penanganan’ kondisi Fadli dimulai.
Terapi pertama kali adalah pijat refleksi, oleh kenalan salah satu tetangga kami di perumahan yang kebetulan berhasil mengurangi dampak cacat fisik akibat stroke, dan anaknya yang mengalami gangguan pendengaran. Seminggu sekali kami antar Fadli pijat, sebulan, dua bulan, tiga bulan belum ada perubahan kemampuan verbalnya. Hal yang berubah adalah Fadli jadi doyan makan, sedikit lebih tidak agresif/aktif, akhirnya pijat refleksi pun dihentikan.

Kami pun melakukan ‘penanganan’ lagi, lewat info tetangga kami dikenalkan oleh terapist pijat, Fadli dipijat lagi, dengan cara sedikit di beri aliran chi oleh tenaga dalam si terapist. Si terapist keturunan china ini memang punya kemampuan semacam itu, dia mencoba membantu memperbaiki system syaraf Fadli lewat aliran chi yang dia miliki. Lagi-lagi ini pun tidak memberikan hasil yang signifikan untuk kemampuan verbalnya. Hal yang berubah waktu itu adalah sikap Fadli yang sudah tenang dan cenderung tidak lagi hiperaktif, terapi pijat plus pun dihentikan.

Setelah ditangani oleh master Chi ini, kami mencoba ke RS. Swasta di Karawang, karena disana ada klinik yang melayani terapi wicara. Kami konsul dan mulailah terapi, tapi ini pun tidak berjalan lama, setiap terapi Fadli lebih suka nangis dibanding belajarnya, waktu terapi jadi sangat tidak efektif dan hasilnya pun tidak maksimal sama sekali.

Dari mulut ke mulut kami pun shoping terapi lagi, lagi-lagi lewat info seorang teman, Fadli di terapi di sebuah klinik pengobatan dengan pijat refleksi dan kombinasi suplemen obat dan obat herbal. Tapi itu pun hanya berjalan 6 bulan, di bulan ke-7 terapi dihentikan, karena kemampuan verbal Fadli tidak berubah.. selain juga karena kekhawatiran saya apabila mengkonsumi obat-obatan dalam jangka panjang takut merusak ginjalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar